Senin, Juli 04, 2005
Anak Saya Bukanlah Seorang Genius
Friends,
Karena ini surat terbuka, maka silakan disebarluaskan!

Trisno
========
SUARA PEMBARUAN DAILY Jum'at, 17 Juni 2005
---------------------------------
Surat Terbuka kepada Mendiknas:



Tolong! Anak Saya Bukan Anak Jenius!
Oleh Trisno S Sutanto



BAPAK Menteri yang terhormat. Saya telah me-layangkan surat ini ke
lembaga Bapak. Akan tetapi, mengingat surat ini ditulis bukan oleh orang
yang penting, melainkan dari rakyat jelata, dari seorang ayah yang merasa
prihatin melihat nasib pengajaran anaknya, besar kemungkinan Bapak tidak
akan menerima surat ini. Atau, kalau toh Bapak menerimanya, besar pula
kemungkinan Bapak tidak bersedia membacanya.


Karena alasan itulah, saya memutuskan untuk menjadikan surat ini "surat
terbuka" yang dapat dibaca oleh semua orang, khususnya para ayah-ibu yang
prihatin melihat hancurnya sistem pendidikan dan pengajaran di
sekolah-sekolah tempat anak mereka menimba ilmu. Sebab, menurut saya, apa
yang terjadi pada anak saya lebih kurang dapat juga dirasakan pada
anak-anak
seusianya.


Bulan ini, jika tidak ada aral melintang, anak saya akan menghadapi
ujian kenaikan kelas. Kini ia kelas II di sebuah SLTP Katolik yang cukup
terpandang di daerah Jakarta Timur. Akan tetapi semenjak dua-tiga bulan
terakhir, kata "sekolah" dan "belajar" baginya telah menjadi hantu yang
sangat membebani pikiran dan perasaannya. Awal Mei lalu, tepat pada "Hari
Pendidikan Nasional", misalnya, anak saya menyatakan mogok pergi ke
sekolah.
Alasannya sederhana: "Aku benci
sekolah!" Sebagai orangtua, saya memang dapat memaksa agar dia tetap
pergi ke sekolah. Namun, menurut saya, model pemaksaan seperti itu tidak
akan memecahkan persoalan. Jadi saya membiarkan ia tidak pergi ke
sekolah,
dan menjadikan hari itu sebagai kesempatan untuk mendiskusikan
alasan-alasan
ia mogok bersekolah.


Hasilnya sudah dapat diduga, akan tetapi tetap mengejutkan bagi saya
sebagai orangtua. Pertama-tama dia berkeluh kesah tentang begitu banyak
mata
pelajaran yang harus dia telan mentah-mentah, tanpa dia tahu untuk apa
dan
mengapa dia harus menelannya. Kata telan mentah-mentah sengaja saya
pilih,
karena hanya itulah padanan yang paling tepat bagi system pengajaran yang
(masih terus) mengandalkan pada hafalan &walau pun sudah begitu
banyak kritik pedas ditujukan pada sistem seperti itu.

Standar Kurikulum
Memang benar, dewasa ini orang berbicara tentang KBK (Kurikulum Berbasis
Kompetensi) dan otonomi khususmasing-masing sekolah. Akan tetapi, pada
praktiknya, tetap saja setiap sekolah akan berusaha memenuhi standar
kurikulum yang dibuat Depdiknas, agar tidak dinilai ketinggalan dari
sekolah-sekolah favorit. Apalagi, ndalam sistem KBK, faktor pendidikan
guru sebagai fasilitator(perhatikan: bukan sebagai guru tradisional,
sumber-segala-sumber ilmu pengetahuan!) akan sangat menentukan. KBK
mengasumsikan tersedianya sumber-sumber ilmu pengetahuan yang terbuka,
seperti internet, fasilitas perpustakaan, lingkungan yang memadai, dan
seterusnya, serta kemampuan guru mengolah mata pelajaran tanpa harus
membebek pada standar kurikulum. Kedua asumsi itu, pada praktiknya,
merupakan kemewahan yang tidak dimiliki oleh sekolah-sekolah pada
umumnya.

Alhasil, sistem telan mentah-mentah kembali merajalela. Mari saya beri
contoh konkret. Seorang siswa SLTP di Jakarta, seperti anak saya, paling
tidak harus menelan 16 mata pelajaran (mata pelajaran umum, ilmiah, dan
khas daerah), mulai dari Agama, PPKN, Fisika, Ekonomi sampai Komputer dan
akan memecahkan persoalan. Jadi saya membiarkan ia tidak pergi ke
sekolah,
dan menjadikan hari itu sebagai kesempatan untuk mendiskusikan
alasan-alasan
ia mogok bersekolah.

Untuk mata pelajaran ekonomi, seorang siswa SLTP kelas II diharapkan
mampu memahami mulai dari koperasi sampai pembangunan nasional. Dan,
masing-masing subjek bahasan diurai dalam rincian yang hanya dapat
dipahami oleh mereka yang kuliah ekonomi di perguruan tinggi. Misalnya,
subjek bahasan koperasi, dirinci mulai dari pengertian, asas, landasan
(idiil, struktural, mental, operasional), fungsi dan peran, macam-macam
kegiatan dan jenis, sampai segala peraturan yang terkait! Dan, subjek
pembangunan nasional dirinci sejak kegiatan negara dalam kehidupan
ekonomi
(seluruh aspek budgeter, APBN-APBD, jenis-jenis pajak, bagaimana
menghitung
pajak, dan peraturan yang terkait) sampai tahap-tahap pembangunan jangka
panjang (Pelita I sampai Reformasi). Hal yang sama juga terjadi dalam
mata
pelajaran lain. Ambil contoh buku-ajar biologi untuk SLTP kelas II. Siswa
diharapkan memahami mulai dari sistem pencernaan (manusia dan hewan),
sistem
pernafasan (manusia dan hewan), sistem transportasi (manusia dan hewan),
sistem saraf, sistem indera, dan seterusnya.


Lagi-lagi, masing-masing subjek bahasan diberi rincian yang luar biasa
PLKJ (Pendidikan Lingkungan Kehidupan Jakarta - untuk siswa di Jakarta).
Itu
berarti, setiap siswa harus "menelan mentah-mentah" setidaknya 15 buku -
saya mengasumsikan Matematika tidak menghafal! - untuk menghadapi ujian
kenaikan kelas.
Masalah lain yang disinggung anak saya, bukan saja jumlah mata
pelajarannya
sangat banyak, tetapi juga kandungan masing-masing mata
pelajaran sangat rinci, dan karena itu terlalu berat bagi seorang siswa
SLTP
kelas II. Ini mudah dicermati jika Bapak Menteri sempat meme-riksa
buku-ajar
standar yang dipakai di sekolah-sekolah kita. Mungkin Bapak Menteri tidak
memiliki waktu cukup untuk memeriksa dengan cermat isi buku-ajar itu.
Jadi,
izinkan saya memberi contoh yang saya petik secara acak dari buku-ajar
anak saya.


Untuk mata pelajaran ekonomi, seorang siswa SLTP kelas II diharapkan
mampu memahami mulai dari koperasi sampai pembangunan nasional. Dan,
masing-masing subjek bahasan diurai dalam rincian yang hanya dapat
dipahami oleh mereka yang kuliah ekonomi di perguruan tinggi. Misalnya,
subjek bahasan koperasi, dirinci mulai dari pengertian, asas, landasan
(idiil, struktural, mental, operasional), fungsi dan peran, macam-macam
kegiatan dan jenis, sampai segala peraturan yang terkait! Dan, subjek
pembangunan nasional dirinci sejak kegiatan negara dalam kehidupan
ekonomi
(seluruh aspek budgeter, APBN-APBD, jenis-jenis pajak, bagaimana
menghitung
pajak, dan peraturan yang terkait) sampai tahap-tahap pembangunan jangka
panjang (Pelita I sampai Reformasi). Hal yang sama juga terjadi dalam
mata
pelajaran lain. Ambil contoh buku-ajar biologi untuk SLTP kelas II. Siswa
diharapkan memahami mulai dari sistem pencernaan (manusia dan hewan),
sistem
pernafasan (manusia dan hewan), sistem transportasi (manusia dan hewan),
sistem saraf, sistem indera, dan seterusnya.


Lagi-lagi, masing-masing subjek bahasan diberi rincian yang luar biasa
mendalam: siswa SLTP kelas II harus memahami perbedaan antara Diapedesis
dengan Fibrinogen, gambar penampang kulit lengkap (Anda tahu Globmerulus
dan
di mana letak Kapsul Bowman?), gambar hubungan antarsel saraf (mana
bagian
Akson, Dendrit, Vesikel Sinapsis?), dan seterusnya. Karena itu, tidak
heran
jika seorang dosen biologi di sebuah universitas berkomentar, Kalau SLTP
sudah sejauh ini, apa lagi yang perlu diajarkan di Universitas?


Perlukah saya menunjukkan materi PLKJ, mata pelajaran khusus untuk siswa
yang (kebetulan) tinggal di Jakarta, kepada Bapak Menteri? Seorang siswa
SLTP kelas II di Jakarta harus menghafal mati pasal-pasal mana dalam KUHP
yang dipakai untuk menghukum perkelahian pelajar secara per orangan yang
mengakibatkan satu pihak luka atau mati, pasal-pasal mana untuk
perkelahian pelajar secara berkelompok dan pasal-pasal mana yang
dipakai jika pelajar menyerang guru

Juga, jangan lupa, pasal-pasal KUHP mana yang dipakai jika "pelajar
mabuk-mabukan, minum-minuman keras atau jika terjadi pemerasan oleh
pelajar atau pencurian di kalangan pelajar atau pelajar membawa
senjata api atau senjata tajam"...



Bapak Menteri yang terhormat. Sengaja saya menguraikan secara rinci
beban mata pelajaran yang harus ditanggung anak saya setiap hari saat ia
pergi ke sekolah, dan khususnya saat ia menghadapi ujian kenaikan kelas.
Menurut saya, hanya anak jenius saja yang mampu menanggung semua beban
itu
tanpa masalah berarti. Dan, saya harus akui dengan jujur, anak saya bukan
anak yang jenius, seperti juga anak-anak pada umumnya.

Seorang teman anak saya bahkan hampir bunuh diri, karena frustrasi
menghafal mata pelajaran Biologi. Saya tidak mau peristiwa itu terjadi
pada
anak saya. Karena itu, Bapak Menteri, tolonglah! Anak saya bukan anak
jenius! Dan jutaan anak Indonesia juga bukan anak jenius! *

Penulis adalah Direktur Eksekutif MADIA (Masyarakat Dialog \r\nAntar Agama),
Jakarta
--

aikidian succeeded at Senin, Juli 04, 2005.





Image hosted by Photobucket.com

WHO AM I?

-- Danu Jaswary
-- Surabaya
-- email:djaswary@gmail.com
-- Think Big If You Want To Be Big!

..Bring Me To The Top..

they say...

Name :
Web URL :
Message :
smileys